Sumber bahan :
http://id.wikipedia.org/wiki/
Hollandsch-Inlandsche School
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sekelompok siswa HIS sedang mengunjungi Cisarua di bawah pengawasan mahasiswa
Hogere Kweekschool (sekolah pendidikan
guru) Bandung pada tahun 1925-1926
Siswa HIS Sumenep pada tahun 1934
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ("sekolah Belanda untuk bumiputera") adalah sekolah pada zaman penjajahan
Belanda. Pertama kali didirikan di
Indonesia pada tahun
1914[1] seiring dengan diberlakukannya
Politik Etis. Sekolah
ini ada pada jenjang Pendidikan Rendah (
Lager Onderwijs) atau setingkat dengan
pendidikan dasar sekarang. HIS termasuk Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar
bahasa Belanda (
Westersch Lager Onderwijs), dibedakan dengan
Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah.
Sekolah ini diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia
asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan,
tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai
negeri.
Lama sekolahnya adalah tujuh tahun.
Peraturan Pendidikan 1848, 1892, dan Politik Etis 1901
Peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda
pertama kali dikeluarkan pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun
1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan,
Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau
tempat yang dianggap perlu.
[2] Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya
Politik Etis atau
Politik Balas Budi dari Kerajaian Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda
Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting:
irigrasi,
transmigrasi,
pendidikan.
[3]
Pada zaman Hindia Belanda anak masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada
Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Voorbels),
sehingga langsung masuk dan selama 7 tahun belajar. Setelah itu dapat
melanjutkan ke MULO, HBS, atau Kweekschool.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS
(Hollands Chinesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga
diberikan bahasa Tionghoa.
Di
luar jalur resmi Pemerintah Hindia Belanda, maka masih ada pihak swasta seperti
Taman Siswa, Perguruan Rakyat, Kristen dan Katholik. Pada jalur pendidikan Islam ada pendidikan yang diselenggrakan oleh Muhamadiyah,
Pondok Pesantren, dlsb.
Ki Hajar Dewantara
From Wikipedia, the free encyclopedia
Ki Hajar Dewantara |
|
Ki Hajar Dewantara, July 4, 1952 |
|
|
|
|
|
|
|
|
Personal details |
Born |
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
May 2, 1889
Yogyakarta, period of Dutch East Indies |
Died |
April 28, 1959 (aged 69)
Yogyakarta, Indonesia |
Religion |
Islam |
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (
EYD:
Suwardi Suryaningrat; from 1972
Ki Hadjar Dewantara, EYD:
Ki Hajar Dewantara, which some write
Ki Hajar Dewantoro to reflect its Javanese language sounds;
Yogyakarta, May 2, 1889 –
Yogyakarta, April 26, 1959, hereinafter abbreviated as
Soewardi or
KHD) was a leading activist in the
Indonesian independence movement, columnist,
politician, and pioneer of
education for
native Indonesians in
Dutch colonial times. He founded the College
Student Park, an institution that provides an educational opportunity for indigenous commoners which otherwise was limited to the
aristocracy and the
Dutch colonials.
His birth date is now celebrated in Indonesia as National Education Day. Part of the
motto creation,
tut wuri handayani, a
slogan for the
ministry of education. A navy training ship bears his name,
KRI Ki Hajar Dewantara. His portrait immortalizes him in the
paper money 20,000 rupiah denomination in 1998.
He was confirmed as a
National Hero of Indonesia by Indonesia's second president,
Sukarno, on 28 November 1959.
[1]
Rohana Kudus
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rohana Kudus (lahir di
Koto Gadang,
Kabupaten Agam,
Sumatera Barat,
20 Desember 1884 – meninggal di
Jakarta,
17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah
wartawan Indonesia.
Ia lahir dari ayahnya yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan
ibunya bernama Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari
Soetan Sjahrir,
Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga
mak tuo (
bibi) dari penyair terkenal
Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu
H. Agus Salim. Rohana hidup di zaman yang sama dengan
Kartini,
dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat
dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar perempuan pertama di
Indonesia.
Latar belakang
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat
pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan
kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan
ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah
Belanda
yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan
semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi
yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah
bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga
belajar
abjad Arab,
Latin, dan
Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke
Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit,
merenda,
dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga
banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita
politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari
Rohana.
Pendidikan dan wirausaha
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke
kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang
berprofesi sebagai
notaris.
Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11
Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah
ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan
mengelola keuangan, tulis-
baca,
budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali
rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh
bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial
menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan
fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk
memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru
membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama dengan
pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan
jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Rohana
menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa
yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana
berbasis
industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di
Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana.
Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang
yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi
topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat
kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan
pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan
pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis
berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama
Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di
Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung
lama
pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus
menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi
didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh
keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak
terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya,
namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke
Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.
Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi
tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup
populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai
Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya
keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan
menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain
belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid
di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi
yang menjadi agen
mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar
di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan
tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran
keterampilan menyulam dan merenda. Semua
guru
di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah
menempuh pendidikan formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar
menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi
pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis
jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan
mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang
terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak
perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala
kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus
sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat
beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu
pengetahuan”.
Emansipasi
yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak
perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah
perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai
perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan
keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pergerakan
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum
pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan
tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun
mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para
gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata
dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui
Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke
Payakumbuh dengan
kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke
Lubuk Pakam dan
Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar
Perempuan Bergerak. Kembali ke
Padang, ia menjadi redaktur surat kabar
Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar
Cahaya Sumatera.
Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya
kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang
diperjuangkannya.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung
Rohana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai Wartawati
Pertama Indonesia (1974), pada
Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari 1987,
Menteri Penerangan
Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis
Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia menganugerahkan
Bintang Jasa Utama.
Referensi
- Tamar Djaja, Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Mutiara, 1980
- Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
- Fitriyanti, Roehana Koeddoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001
- Fitriyanti, Rohana Kudus Wartawan Perempuan Pertama indonesia, Yayasan d' Nanti, Jakarta, 2005
Ahmad Dahlan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di
Yogyakarta,
1 Agustus 1868 – meninggal di
Yogyakarta,
23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang
ulama dan
khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara
Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
[1] Silsilahnya tersebut ialah
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu
Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di
Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh,
Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun
1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib yang juga
guru dari pendiri
NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung
Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan
Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal
dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan,
Siti Aisyah, Siti Zaharah.
[1]
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah,
janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir
Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta.
[3]
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di
KarangKajen,
Yogyakarta.
Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang
batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi
Jam'iyatul Khair,
Budi Utomo,
Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad
Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama
Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an dan
al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal
18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi
politik tetapi bersifat
sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya.
Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la
dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada
yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang
Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh
Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan
priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah
OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak
priyayi.
Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati
untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah
air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal
20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan
badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk
daerah
Yogyakarta
dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan
organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan,
Wonosari,
Imogiri
dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk
mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan
agar cabang Muhammadiyah di
luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya
Nurul Islam di
Pekalongan,
Al-Munir di
Ujung Pandang, Ahmadiyah
[4] di
Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan
Sidiq Amanah Tabligh Fathonah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam
kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, diantaranya ialah
Ikhwanul-Muslimin,
[5] Taqwimuddin,
Cahaya Muda,
Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub,
Priya Utama,
Dewan Islam,
Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba,
Ta'awanu alal birri,
Ta'ruf bima kanu wal- Fajri,
Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin,
Syahratul Mubtadi.
[6]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur
van Lith
pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh
Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan
keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk
gereja dengan pakaian hajinya
[7].
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan
dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal
7 Mei 1921
Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan
ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal
2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah
untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah.
Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah
diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat;
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat,
dengan dasar iman dan Islam;
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha
sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan
bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Film
Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke layar lebar dengan judul
Sang Pencerah.
Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini
juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda
dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap
bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan
latar belakang suasana
Kebangkitan Nasional.
[8]